Jumat, 30 Maret 2018

Hadits di Masa Khulafaurrasyidin

Hadits setelah nabi wafat

hadits-di-masa-khulafaurrasyidin-jurnal-history


Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sebagian orang Arab Dusun mulai memalsukan hadist, hal ini sangat di khawatirkan oleh para sahabat khususnya oleh Abu Bakar As-shiddiq yang saat itu menjabat menjadi khalifah setelah kaum muhajirin dan anshor bermusyawarah di tsaqifah bani sa’idah.

Dalam kepemimpinannya Abu Bakar mendapati sebagian kecil kalangan umat islam yang telah murtad kerena tidak mau membayar zakat. Namun dalam perjalanannya Abu Bakar dapat menyelesaikan masalah tersebut dan membuat mereka kembali mau membayar zakat.

Untuk mengatasi hal yang tidak diinginkan akibat orang arab dusun yang mulai memalsukan hadist, akhirnya abu bakar mengambil kebijakan untuk menyedikitkan riwayat. Kebijakan ini di ambil agar tersebar luasnya hadist tidak digunakan oleh kaum munafiq untuk memecah belah kaum mukmin.

Pada masa abu bakar ini problematika umat di selesaikan dengan Al-qur’an, namun jika tidak ada dalam al-qur’an barulah abu bakar mencari solusi dari hadist. Tetapi ketika mengambil sebuah solusi dari hadist, abu bakar menanyakan adakah saksi yang mendengarkan bahwa Rasulullah bersabda seperti itu? Misalnya, suatu ketika ada seorang nenek yang meminta harta peninggalan (pusaka) cucunya, namun Abu bakar tidak mendapati solusi dari al-qur’an atas permasalahan ini.

Akhirnya abu bakar menanyakan kepada sahabatnya, siapa yang pernah mendengar atau menyaksikan Rasulullah menyelesaikan problematika seperti ini? Kemudian Al-mughirah berdiri dan meriwayatkan sebuah hadist bahwasanya Rasulullah memberi 1/6 bagian untuk nenek dari harta peninggalan cucunya. Lantas abu bakar bertanya, adakah yang menyaksikan Rasulullah bersabda begitu?? Kemudian Muhammad bin Maslamah membenarkan apa yang diriwayatkan Al-Mughiroh, dan Akhirnya Abu Bakar menyelesaikan masalah tersebut.

Kisah diatas juga merupakan tindakan ke hati-hatian Abu Bakar dan para sahabat dalam meriwayatkan hadist. Mereka bukan berarti meninggalkan hadist, tetapi berusaha berhati-hati agar tidak berdusta atas nama Nabi Muhammad SAW.

Para Sahabat pun menyelesaikan persoalan dengan ijtihad mereka, itupun apabila tidak ada hadist yang menerangkan persoalan yang sedang mereka hadapi. Mereka juga berpegang pada hadist ahad (hadist yang hanya memiliki satu perawi) namun mereka lebih mendahulukan hadist yang mutawatir, atau paling tidak hadist yang masyhur. Hal ini yang menjadi salah faham atas sebagian umat islam yang menganggap para Sahabat meninggalkan hadist ahad, padahal sebenarnya tidak demikian.
Load disqus comments

0 komentar